Senin, 20 Januari 2014

hukum indonesia responsif?



APAKAH SISTEM HUKUM DIINDONESIA SUDAH RESPONSIF ?
1.    PENDAHULUAN
            Selama ini, hukum hanya di pahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspekthe legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri.
            Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan.
            Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Tidak dapat dihindari bahwa dalam perjalanannya ilmu hukum mengalami pasang surut keberadaan tergantung pada konteks dan waktu dimana ilmu hukum tersebut berkembang. Agar ilmu hukum dapat berkualitas sebagai lmu, maka tidak dapat di hindari bagi ilmu hukum masuk dalam siklus terbentuknya ilmu yang telah ada.
            Untuk menjadikan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu, pertama-tama barang perlu mengkaji apa dan bagaimana serta manfaat dari ilmu. Sebagaimana dikatakan oleh SatjiptoRahardjo, bahwa Ilmu adalah untuk kenyataan, bukan sebaliknya. Apabila kenyataan adalah untuk ilmu, maka kenyataan itu akan di manipulasi sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada. Sebagai contoh teori Newton yang melihat segalanya sebagai keteraturan, yang berhubungan secara mekanistik. Dengan kata lain teori Newton bersifat linear, matematis, dan deterministik. Teori Newton mengabaikan kenyataan dalam alam yang menyimpang dari teorinya. Ia menganggap bahwa fenomena yang ada dialam ini tidak dapat dimasukkan dalam tubuh grand-theori-nya dianggap sebagai penyimpangan yang harus diabaikan. Ketika teori Newton gagal menjelaskan fenomena tersebut, akhirnya digantikan oleh teori lain yaitu teori kuantum yang mampu menjelaskan fenomena tersebut.
            Dari situlah unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial perlu di integrasikanke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsure pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Hal ini membuat Nonet dan Selznick mengategorikan hukum ke dalam 3 kelompok yang berlainan serta ketiganya merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Ketiga kategori hukum tersebut adalah hukum represif, otonom dan hukum responsif. Hukum represif merupakan perintah dari yang berdaulat, yang pada prinsipnya hukum dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
            Pemberlakuan hukum represif tidak terlepas dari integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Wujud dari integrasi yang sangat dekat ini adalah adanya suatu subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum terhadap elit-elit yang berkuasa. Hukum adalah alat yang mudah diutak-atik, siap dipakai untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak istimewa, dan memenangkan ketaatan. Hukum otonom dapat disebut sebagai pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law). Hukum otonom memfokuskan diri pada peraturan dan hal ini menyebabkan hukum otonom cenderung mempersempit cakupan fakta-fakta yang relevan secara hukum,sehingga memisahkan pemikiran hukum dari realitas sosial.
            Hasilnya adalah legalisme, yaitu sebuah kecenderungan untuk menyandarkan diri pada otoritas hukum dengan mengorbankan pemecahan masalah ditingkat praktek. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
            Hukum represif juga pernah ada di Negara kita, yaitu pada saat awal-awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1960 –Orde Lama. Kemudian hukum otonom juga pernah dirasakan bangsa ini, yaitu pada era pimpinan Soeharto–Orde Baru, yang keduanya dipakai untuk menjaga kredibilitas masing-masing pemerintahan. Di era reformasi sekarang ini yang sudah berjalan lebih dari satu dekade– hukum responsif masih dalam proses.
            Membutuhkan waktu lama agar hukum responsif dapat dijalankan sesuai dengan sebenar-benarnya sehingga demokrasi yang hakiki dapat terwujud demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a toolof social engineering dari Roscoe Pound, atau yang di dalam terminology Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat. Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif.
            Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis danegaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat.
            Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini Seperti apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof.Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum tidak hanya rules (logic &rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain.
            Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis
2.    POKOK PERMASALAHAN.
Bahwa pokok permasalahan dalam makalah ini adalah:
·         apakah system hukum Indonesia sudah responsif ?

3.    PEMBAHASAN
Indonesia berdasarkan UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya adalah negara hukum artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
            Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat
            Di negara kawan Anglo Saxon (the rule of law), hakim diberi kebebasan untuk tak terbelenggu dan boleh keluar dari ketentuan UU guna mencari keadilan serta menciptakan hukum sendiri, sehingga produk hukum menjadi responsif. Sebaliknya, di negara-negara Eropa Kontinental (Rechtsstaat), hakim hanya boleh menerapkan hukum sesuai bunyi UU, sehingga produk hukumnya menjadi ortodoks. Sumber : jawa pos dotcom VIII. ecember 24, 2007 Responsivitas Vonis MA atas Pilkada Sulsel
            Politik hukum kita sebenarnya telah lama mengikuti paham bahwa lembaga peradilan kita bebas, bahkan diperintahkan, menggali nilai keadilan di dalam masyarakat tanpa harus terbelenggu atau mengikuti mentah-mentah bunyi UU. Bahkan lebih dipuji jika hakim mau mencari dan menemukan alasan untuk tidak mengindahkan isi UU yang dinilainya tidak memberi keadilan,asalkan hal itu memang benar-benar dimaksudkan untuk menegakkan keadilan. Pasal 27 ayat (1) UU No 14/1970 yang telah diubah dengan UU No 35/1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman memerintahkan hakim untuk memahami dan menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.
            UUD 1945 hasil amendemen telah meniadakan istilah rechtsstaat dari konstitusi dan menyebut istilah negara hukum dengan konsep netral. Semula, negara hukum kita sering diidentikkan dengan rechtsstaat yang cenderung memosisikan hakim hanya sebagai corong UU dan tak boleh membuat putusan di luar ketentuan UU. Tetapi UUD 1945 hasil amendemen telah meniadakan “penjelasan”yang di dalamnya ada kata-kata, “...negara hukum (rechtsstaat)” sehingga sekarang ini, seperti tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, negara hukum Indonesia tidak diembel-embeli istilah rechtsstaat.
            Negara hukum kita bukan hanya rechtsstaat, tetapi sekaligus the rule of law. Rechtsstaat sebagai istilah negara hukum di Eropa Kontinental lebih memosisikan hakim sebagai corong UU dan setengah mengharamkan hakim untuk membuat vonis yang keluar dari bunyi UU dengan alasan demi kepastian hukum; sedangkan the rule of law sebagai istilah negara hukum di kawasan Anglo Saxon lebih memosisikan hakim sebagai pembuat hukum (judge made law) yang didorong untuk mencari nilainilai keadilan substansial, kalau perlu, dengan tidak mengindahkan bunyi UU.
            Di dalam kepustakaan strategi pembangunan, hukum ala the rule of law disebut sebagai strategi pembangunan hukum yang responsif; sedangkan strategi pembangunan hukum ala rechsstaat disebut strategi hukum ortodoks (John Henry Marryman,1969). UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi menyandera negara hukum kita dengan konsepsi rechtsstaat yang berpijak pada legisme dan watak ortodoks, melainkan sudah menganut politik hukum responsif dengan konsepsi the rule of law. Hal ini bukan hanya dapat disimpulkan dari peniadaan istilah rechtsstaat melalui penuangan di dalam Pasal 1 ayat (3) melainkan tersurat juga di dalam Pasal 24A dan Pasal 28D yang secara eksplisit menegaskan bahwa peradilan dan perlindungan hak-hak asasi manusia harus berdasar kepastian hukum,keadilan, dan manfaat.
            Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
            Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model).
            Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.
            Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
            Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
            Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.
            Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
            Pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar untuk mensejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasa.
            Indonesia sebagai negara yang menganut civil law system (Eropa Kontinental), mengedepankan hukum positif sebagai patokan utama dalam menjalankan tugas-tugas negara dan juga dalam sistem peradilannya. Apabila konsep negara hukum Indonesia dengan civil law system- nya diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip idealnya maka rule of law sudah pasti akan dapat terwujud.
            Bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang berdiri sebagai ”negara hukum” atau ”rechtsstaat” sudah merupakan finalisasi dari perjalanan sejarah tata hukum Indonesia. Juga civil law system yang dianutnya merupakan sistem yang telah menjadi dasar tata hukum di sini. Rule of law yang menjadi konsep hukum dan keadilan dari negara-negara common law, merupakan suatu tatanan baru yang ada di hadapan Indonesia saat ini. Indonesia tidak mungkin mengubah sistem hukumnya menjadi common law system.
            Dalam pembuatan suatu produk hukum, tidak hanya memandang dari segi yuridisnya saja. Artinya pembentukan sebuah produk hukum tidak hanya berdasarkan nilai hukum yang harus ditetapkan namun juga harus memandang aspek filosofis dan aspek sosiologis. Kedua aspek ini tentu bertujuan supaya hokum mengakar serta diterima oleh masyarakat. Pertimbangan terhadap aspek filosofis dan aspek sosiologis akan mendapat respon hukum dari masyarakat, mereka tidak akan memandang hukum sebagai kepentingan, namun masyarakat akan menyadari makna dari kebutuhan hukum tersebut.
            Produk hukum responsif adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Hasilnya akan bersifat respon terhadap kepentingan seluruh elemen, baik dari segi masyarakat ataupun dari segi penegak hukum. Hasil dari produk hukum tersebut mengakomodir kepentingan rakyat dan penguasanya. Prinsip check and balance akan selalu tumbuh terhadap dinamika kehidupan masyarakat.
            Untuk mengkalkulasikan apakah produk hukum tersebut responsif ada indikator yang bisa dipakai dalam penilaian sebuah produk hukum tersebut. Penialan yang dipakai adalah proses pembuatannya, sifat hukumnya, fungsi hukum dan kemungkinan penafsiran terhadap pasal-pasal dari produk hukum tersebut. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat pertisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat. Kemudian dilihat dari fungsi hukum yang berkarakter responsif tersebut harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat, produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Sehingga fungsi hukum bisa menjadi nilai yang telah terkristal dalam masyarakat.
            Kemudian dilihat dari segi penafsiran produk hukum yang berkarakter responsif tersebut biasanya memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksana dan peluang yang sempit itupun hanyan berlaku untuk hal yang bersifat tehknis, bukan dalam sifat pengaturan yang bertentangan dengan aturan yang ada diatasnya.
            Pembangunan hukum responsif ini harus disertakan dengan masyarakat yang responsif pula. Karena pilar utama dari penegakan hukum ada dalam diri masyarakat. Masyarakat responsif adalah masyarakat atau komonitas yang lebih tanggap terhadap tuntutan warganya dan mau mendengarkan keluhan serta keinginan-keingian warganya. Masyarakat jenis responsif ini adalah masyarakat yang dalam mengungkapkan dan menegakan nilai-nilai sosialnya, tujuan-tujuannya, kepentingan-kepentingannya tidak dilakukan dengan melalui cara paksaan akan tetapi cendrung dilakukan dengan cara penyebarluasan informasi, pengetahuan dan komonikasi. Konsekwensinya, dalam memecahkan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hankamnya terutama dilakukan dengan cara-cara persuasif dan dengan memberikan dorongan, bukannya unjuk kekuasaan atau bahkan melembagakan budaya kekerasan. Kenyataan ini menunjukan betapa pentingan pembangunan hukum responsif harus diiringi dengan masyarakat responsif.
            Tuntutan untuk mengagendakan urgensi pembangan hukum responsif tersebut secara teoritis juga dilandasi oleh suatu asumsi bahwa hukum, selain dapat dipergunakan sebagai tool of social control juga seharusnya dipergunakan pula sebagai tool of social engineering yang akan menuntun perubahan-perubahan sosial dan cita hukum masyarakat bersangkutan. (M.Abdul kholiq, Jurnal hukum dan Keadilan) Dalam perspektif konstitusional misalnya, hukum responsif yang aspiratif dalam arti mengakomodir segala kepentingan masyarakat banyak dan dengan demikian juga berarti bahwa hukum tersebut bersifat melindungi (social defence), menemukan legitimasinya dalam UUD tahun 1945.
            Bahwa sesungguhnya pada pembukaan UUD 1945 dalam konteksnya dengan hukum mengandung empat nilai dasar yang merupakan law frame yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum di Indonesia. Pertama Hukum itu berwatak melindungi (mengayomi) dan bukan sekedar berisi muatan norma imperatif (memerintah) begitu saja. Kedua Hukum itu mewujudkan kadilan sosial bagi seluruh rakyat. Keadilan sosial disini bukan semata-mata sebagai tujuan, akan tetapi sekaligus sebagai pegangan yang konkrit dalam membuat peraturan hukum. Ketiga Hukum itu adalah dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan. Keempat Hukum adalah pernyataan kesusilaan dan moralitas yang tinggi baik dalam peraturan maupun dalam pelaksanaanya sebagaimana diajarkan didalam ajaran agama dan adat rakyat kita. Keseiringan antara nilai hukum dengan keadaan masyarakat menjadikan hukum tersebut berpihak serta melindungi masyarakat. Maka untuk tercapainya sebuah keadilan akan lebih mudah.
            Dalam mencapai tatanan hukum responsif ini paradikma politik kita juga harus diobah. Tujuannya adalah agar kepentingan politik sesaat tidak selalu ditonjolkan, yang terjadi dalam era reformasi sekarang ini adalah bahwa pembuatan sebuah produk hukum akan selalu ditonjolkan kepentingan politik. Makanya untuk membangun sebuah produk hukum yang responsif arah perpolitikan Indonesia harus disertai dengan politik bermoral dengan tujuan kebersamaan untuk masyarakat. Kalau selama ini banyak partai politik yang menonjolkan kepentingan partainya maka untuk masa yang akan datang arah politik tersebut lebih menjurus terhadap kepentingan rakyat. Karena kita sadari bersama bahwa hukum merupakan produk dari politik, kalau politiknya baik maka akan menghasilkan produk hukum yang baik, kalau politiknya buruk akan melahirkan produk hukum yang menyengsarakan rakyat.

4.    KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dalam hal ini dalam menjawab pertanyaan apakah system hukum diindonesia sudah responsif? Jawaban saya , Jika dikaitkan dengan teori hukum menururt Philippe Nonet dan Philip Selznick bahwa system hukum diindonesia menganut teori hukum yang bersifat otonaom dan bersifat responsive . menururut saya  produk hukum di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh, teori hukum yang otonom dan hukum yang bersifat responsif. Hukum otonom terutama dipegang oleh kalangan aparat penegak hukum, akademisi dan birokrasi, sehingga seringkali menjadi penghalang perkembangan hukum serta mengalami kebuntuan ketika menghadapi kasus-kasus baru. Dimana seorang penegak hukum dalam menegakkan hukum harus sesuai dengan hukum positif yang berlaku.
            Sedangkan dikatakan bersifat responsive, karena Sebenarnya, tata hukum Indonesia sudah lama menganut strategi pembangunan hukum yang kritis-responsif. UU No 14/1970 sudah mengharuskan hakim untuk menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, suatu bukti bahwa kita menganut the rule of law.
            Selanjutnya, melalui perubahan UUD 1945 (1999-2002), secara resmi kita mencabut istilah rechtstaat dari UUD 1945. Penjelasan UUD 1945 yang memuat istilah rechtsstaat dicabut dari UUD 1945 dan istilah negara hukum dinetralkan. Pasal 1 ayat (3) hanya menyebut "negara Indonesia adalah negara hukum" tanpa embel-embel rechtsstaat yang diletakkan dalam kurung. Dengan demikian, negara hukum Indonesia bukan hanya rechtsstaat, tapi juga sekaligus the rule of law.
            Ditambah lagi mulai timbulnya permasalahan-permasalahan hukum yang ada karena adanya respon dari masyarakat yang merasa di rugikan oleh suatu aturan-aturan, sebagai contohnya adalah adanya seseorang yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh undang-undang maka seseorang tersebut dapat mengajukan permohonan ke MAHKAMAH KONSTITUSI, menurut saya itu adalah salah satu contoh bahwa system hukum diindonesia menganut responsive.