APAKAH SISTEM HUKUM DIINDONESIA SUDAH
RESPONSIF ?
1. PENDAHULUAN
Selama ini, hukum hanya di pahami sebagai aturan-aturan
yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspekthe legal system tanpa
melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus
ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban
sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman
mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu
sendiri.
Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta
terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Memahami
kenyataan itu, mereka kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu
sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada
perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara
keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan
penindasan.
Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum
sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Tidak dapat dihindari bahwa
dalam perjalanannya ilmu hukum mengalami pasang surut keberadaan tergantung
pada konteks dan waktu dimana ilmu hukum tersebut berkembang. Agar ilmu hukum
dapat berkualitas sebagai lmu, maka tidak dapat di hindari bagi ilmu hukum
masuk dalam siklus terbentuknya ilmu yang telah ada.
Untuk menjadikan ilmu hukum sebagai sebenar ilmu,
pertama-tama barang perlu mengkaji apa dan bagaimana serta manfaat dari ilmu.
Sebagaimana dikatakan oleh SatjiptoRahardjo, bahwa Ilmu adalah untuk kenyataan,
bukan sebaliknya. Apabila kenyataan adalah untuk ilmu, maka kenyataan itu akan
di manipulasi sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada. Sebagai contoh
teori Newton yang melihat segalanya sebagai keteraturan, yang berhubungan
secara mekanistik. Dengan kata lain teori Newton bersifat linear, matematis,
dan deterministik. Teori Newton mengabaikan kenyataan dalam alam yang
menyimpang dari teorinya. Ia menganggap bahwa fenomena yang ada dialam ini
tidak dapat dimasukkan dalam tubuh grand-theori-nya dianggap sebagai
penyimpangan yang harus diabaikan. Ketika teori Newton gagal menjelaskan
fenomena tersebut, akhirnya digantikan oleh teori lain yaitu teori kuantum yang
mampu menjelaskan fenomena tersebut.
Dari situlah unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial perlu
di integrasikanke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada
perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara
keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsure pemaksaan dan
penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai
sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Hal ini membuat Nonet dan Selznick
mengategorikan hukum ke dalam 3 kelompok yang berlainan serta ketiganya
merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan
tertib politik. Ketiga kategori hukum tersebut adalah hukum represif, otonom
dan hukum responsif. Hukum represif merupakan perintah dari yang berdaulat,
yang pada prinsipnya hukum dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan.
Pemberlakuan hukum represif tidak terlepas dari integrasi
yang dekat antara hukum dan politik. Wujud dari integrasi yang sangat dekat ini
adalah adanya suatu subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum
terhadap elit-elit yang berkuasa. Hukum adalah alat yang mudah diutak-atik, siap
dipakai untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan
hak-hak istimewa, dan memenangkan ketaatan. Hukum otonom dapat disebut sebagai
pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law). Hukum otonom memfokuskan diri
pada peraturan dan hal ini menyebabkan hukum otonom cenderung mempersempit
cakupan fakta-fakta yang relevan secara hukum,sehingga memisahkan pemikiran
hukum dari realitas sosial.
Hasilnya adalah legalisme, yaitu sebuah kecenderungan
untuk menyandarkan diri pada otoritas hukum dengan mengorbankan pemecahan
masalah ditingkat praktek. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada
tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan
hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum
responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan
kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan
terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak
fleksibel.
Hukum represif juga pernah ada di Negara kita, yaitu pada
saat awal-awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1960 –Orde Lama. Kemudian hukum
otonom juga pernah dirasakan bangsa ini, yaitu pada era pimpinan Soeharto–Orde
Baru, yang keduanya dipakai untuk menjaga kredibilitas masing-masing
pemerintahan. Di era reformasi sekarang ini yang sudah berjalan lebih dari satu
dekade– hukum responsif masih dalam proses.
Membutuhkan waktu lama agar hukum responsif dapat
dijalankan sesuai dengan sebenar-benarnya sehingga demokrasi yang hakiki dapat
terwujud demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Substansi hukum dalam
wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen
resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara
pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum
dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a
toolof social engineering dari Roscoe Pound, atau yang di dalam terminology
Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana
untuk membantu perubahan masyarakat. Karakter keberpihakan hukum yang responsif
ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif.
Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis
danegaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan
perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga
masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat mengambil
peran partisipatif dalam semua bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat
yang menjunjung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri
bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi
hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi
kepentingan rakyat di dalam masyarakat.
Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini,
Sunaryati Hartono melihat bahwa Undang-Undang Dasar1945 disusun dengan lebih
berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini Seperti apa yang
dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof.Satjipto Rahardjo, sebetulnya
bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu
pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence
berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom
pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya
menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat. Teori hukum
responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini
berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum tidak hanya
rules (logic &rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain.
Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup,
tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini
merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan
hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri
dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis
2. POKOK
PERMASALAHAN.
Bahwa pokok permasalahan dalam makalah ini
adalah:
·
apakah system
hukum Indonesia sudah responsif ?
3.
PEMBAHASAN
Indonesia
berdasarkan UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya adalah negara hukum artinya
negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Negara
hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum
yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok
sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif
terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu
dalam masyarakat
Di negara kawan Anglo Saxon (the rule of law), hakim
diberi kebebasan untuk tak terbelenggu dan boleh keluar dari ketentuan UU guna
mencari keadilan serta menciptakan hukum sendiri, sehingga produk hukum menjadi
responsif. Sebaliknya, di negara-negara Eropa Kontinental (Rechtsstaat), hakim
hanya boleh menerapkan hukum sesuai bunyi UU, sehingga produk hukumnya menjadi
ortodoks. Sumber : jawa pos dotcom VIII. ecember 24, 2007 Responsivitas Vonis
MA atas Pilkada Sulsel
Politik hukum kita sebenarnya telah lama mengikuti paham
bahwa lembaga peradilan kita bebas, bahkan diperintahkan, menggali nilai
keadilan di dalam masyarakat tanpa harus terbelenggu atau mengikuti
mentah-mentah bunyi UU. Bahkan lebih dipuji jika hakim mau mencari dan
menemukan alasan untuk tidak mengindahkan isi UU yang dinilainya tidak memberi
keadilan,asalkan hal itu memang benar-benar dimaksudkan untuk menegakkan
keadilan. Pasal 27 ayat (1) UU No 14/1970 yang telah diubah dengan UU No 35/1999
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman memerintahkan hakim untuk memahami dan
menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat.
UUD 1945 hasil amendemen telah meniadakan istilah
rechtsstaat dari konstitusi dan menyebut istilah negara hukum dengan konsep
netral. Semula, negara hukum kita sering diidentikkan dengan rechtsstaat yang
cenderung memosisikan hakim hanya sebagai corong UU dan tak boleh membuat
putusan di luar ketentuan UU. Tetapi UUD 1945 hasil amendemen telah meniadakan
“penjelasan”yang di dalamnya ada kata-kata, “...negara hukum (rechtsstaat)”
sehingga sekarang ini, seperti tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
negara hukum Indonesia tidak diembel-embeli istilah rechtsstaat.
Negara hukum kita bukan hanya rechtsstaat, tetapi sekaligus
the rule of law. Rechtsstaat sebagai istilah negara hukum di Eropa Kontinental
lebih memosisikan hakim sebagai corong UU dan setengah mengharamkan hakim untuk
membuat vonis yang keluar dari bunyi UU dengan alasan demi kepastian hukum;
sedangkan the rule of law sebagai istilah negara hukum di kawasan Anglo Saxon
lebih memosisikan hakim sebagai pembuat hukum (judge made law) yang didorong
untuk mencari nilainilai keadilan substansial, kalau perlu, dengan tidak
mengindahkan bunyi UU.
Di dalam kepustakaan strategi pembangunan, hukum ala the
rule of law disebut sebagai strategi pembangunan hukum yang responsif;
sedangkan strategi pembangunan hukum ala rechsstaat disebut strategi hukum
ortodoks (John Henry Marryman,1969). UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi menyandera
negara hukum kita dengan konsepsi rechtsstaat yang berpijak pada legisme dan
watak ortodoks, melainkan sudah menganut politik hukum responsif dengan
konsepsi the rule of law. Hal ini bukan hanya dapat disimpulkan dari peniadaan
istilah rechtsstaat melalui penuangan di dalam Pasal 1 ayat (3) melainkan
tersurat juga di dalam Pasal 24A dan Pasal 28D yang secara eksplisit menegaskan
bahwa peradilan dan perlindungan hak-hak asasi manusia harus berdasar kepastian
hukum,keadilan, dan manfaat.
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan
Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu:
hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai
institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas
dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon
terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif,
otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi
dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum
dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut
tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental
model).
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick
berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan tertib
kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang
dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada
tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola
represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada
tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan
hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum
responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan
kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan
terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak
fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Seznick, menurut Prof.
Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara
analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain
pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini
dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet
melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan
tak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat
pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai
tujuan.
Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga
ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak
cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini
merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan
hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri
dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses
pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya
partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok
masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau
kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari
penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu
memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus
benar-benar untuk mensejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih
besar, bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasa.
Indonesia sebagai negara yang menganut civil law system
(Eropa Kontinental), mengedepankan hukum positif sebagai patokan utama dalam
menjalankan tugas-tugas negara dan juga dalam sistem peradilannya. Apabila
konsep negara hukum Indonesia dengan civil law system- nya diterapkan sesuai
dengan prinsip-prinsip idealnya maka rule of law sudah pasti akan dapat
terwujud.
Bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang berdiri sebagai
”negara hukum” atau ”rechtsstaat” sudah merupakan finalisasi dari perjalanan
sejarah tata hukum Indonesia. Juga civil law system yang dianutnya merupakan
sistem yang telah menjadi dasar tata hukum di sini. Rule of law yang menjadi
konsep hukum dan keadilan dari negara-negara common law, merupakan suatu
tatanan baru yang ada di hadapan Indonesia saat ini. Indonesia tidak mungkin
mengubah sistem hukumnya menjadi common law system.
Dalam pembuatan suatu produk hukum, tidak hanya memandang
dari segi yuridisnya saja. Artinya pembentukan sebuah produk hukum tidak hanya
berdasarkan nilai hukum yang harus ditetapkan namun juga harus memandang aspek
filosofis dan aspek sosiologis. Kedua aspek ini tentu bertujuan supaya hokum
mengakar serta diterima oleh masyarakat. Pertimbangan terhadap aspek filosofis
dan aspek sosiologis akan mendapat respon hukum dari masyarakat, mereka tidak
akan memandang hukum sebagai kepentingan, namun masyarakat akan menyadari makna
dari kebutuhan hukum tersebut.
Produk hukum responsif adalah produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok
sosial atau individu dalam masyarakat. Hasilnya akan bersifat respon terhadap
kepentingan seluruh elemen, baik dari segi masyarakat ataupun dari segi penegak
hukum. Hasil dari produk hukum tersebut mengakomodir kepentingan rakyat dan
penguasanya. Prinsip check and balance akan selalu tumbuh terhadap dinamika
kehidupan masyarakat.
Untuk mengkalkulasikan apakah produk hukum tersebut
responsif ada indikator yang bisa dipakai dalam penilaian sebuah produk hukum
tersebut. Penialan yang dipakai adalah proses pembuatannya, sifat hukumnya,
fungsi hukum dan kemungkinan penafsiran terhadap pasal-pasal dari produk hukum
tersebut. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat
pertisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen
masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat. Kemudian
dilihat dari fungsi hukum yang berkarakter responsif tersebut harus bersifat
aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat, produk
hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Sehingga fungsi hukum bisa menjadi nilai yang telah terkristal dalam
masyarakat.
Kemudian dilihat dari segi penafsiran produk hukum yang
berkarakter responsif tersebut biasanya memberikan sedikit peluang bagi
pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan
pelaksana dan peluang yang sempit itupun hanyan berlaku untuk hal yang bersifat
tehknis, bukan dalam sifat pengaturan yang bertentangan dengan aturan yang ada
diatasnya.
Pembangunan hukum responsif ini harus disertakan dengan
masyarakat yang responsif pula. Karena pilar utama dari penegakan hukum ada
dalam diri masyarakat. Masyarakat responsif adalah masyarakat atau komonitas
yang lebih tanggap terhadap tuntutan warganya dan mau mendengarkan keluhan
serta keinginan-keingian warganya. Masyarakat jenis responsif ini adalah
masyarakat yang dalam mengungkapkan dan menegakan nilai-nilai sosialnya,
tujuan-tujuannya, kepentingan-kepentingannya tidak dilakukan dengan melalui
cara paksaan akan tetapi cendrung dilakukan dengan cara penyebarluasan
informasi, pengetahuan dan komonikasi. Konsekwensinya, dalam memecahkan
masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hankamnya terutama
dilakukan dengan cara-cara persuasif dan dengan memberikan dorongan, bukannya
unjuk kekuasaan atau bahkan melembagakan budaya kekerasan. Kenyataan ini
menunjukan betapa pentingan pembangunan hukum responsif harus diiringi dengan
masyarakat responsif.
Tuntutan untuk mengagendakan urgensi pembangan hukum
responsif tersebut secara teoritis juga dilandasi oleh suatu asumsi bahwa
hukum, selain dapat dipergunakan sebagai tool of social control juga seharusnya
dipergunakan pula sebagai tool of social engineering yang akan menuntun
perubahan-perubahan sosial dan cita hukum masyarakat bersangkutan. (M.Abdul
kholiq, Jurnal hukum dan Keadilan) Dalam perspektif konstitusional misalnya,
hukum responsif yang aspiratif dalam arti mengakomodir segala kepentingan
masyarakat banyak dan dengan demikian juga berarti bahwa hukum tersebut
bersifat melindungi (social defence), menemukan legitimasinya dalam UUD tahun 1945.
Bahwa sesungguhnya pada pembukaan UUD 1945 dalam
konteksnya dengan hukum mengandung empat nilai dasar yang merupakan law frame
yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum di Indonesia. Pertama Hukum itu
berwatak melindungi (mengayomi) dan bukan sekedar berisi muatan norma imperatif
(memerintah) begitu saja. Kedua Hukum itu mewujudkan kadilan sosial bagi
seluruh rakyat. Keadilan sosial disini bukan semata-mata sebagai tujuan, akan
tetapi sekaligus sebagai pegangan yang konkrit dalam membuat peraturan hukum.
Ketiga Hukum itu adalah dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan. Keempat
Hukum adalah pernyataan kesusilaan dan moralitas yang tinggi baik dalam
peraturan maupun dalam pelaksanaanya sebagaimana diajarkan didalam ajaran agama
dan adat rakyat kita. Keseiringan antara nilai hukum dengan keadaan masyarakat
menjadikan hukum tersebut berpihak serta melindungi masyarakat. Maka untuk
tercapainya sebuah keadilan akan lebih mudah.
Dalam mencapai tatanan hukum responsif ini paradikma
politik kita juga harus diobah. Tujuannya adalah agar kepentingan politik
sesaat tidak selalu ditonjolkan, yang terjadi dalam era reformasi sekarang ini
adalah bahwa pembuatan sebuah produk hukum akan selalu ditonjolkan kepentingan
politik. Makanya untuk membangun sebuah produk hukum yang responsif arah
perpolitikan Indonesia harus disertai dengan politik bermoral dengan tujuan
kebersamaan untuk masyarakat. Kalau selama ini banyak partai politik yang
menonjolkan kepentingan partainya maka untuk masa yang akan datang arah politik
tersebut lebih menjurus terhadap kepentingan rakyat. Karena kita sadari bersama
bahwa hukum merupakan produk dari politik, kalau politiknya baik maka akan
menghasilkan produk hukum yang baik, kalau politiknya buruk akan melahirkan
produk hukum yang menyengsarakan rakyat.
4. KESIMPULAN
DAN PENUTUP
Dalam hal ini dalam
menjawab pertanyaan apakah system hukum diindonesia sudah responsif? Jawaban
saya , Jika dikaitkan dengan teori hukum menururt Philippe Nonet dan Philip
Selznick bahwa system hukum diindonesia menganut teori hukum yang bersifat
otonaom dan bersifat responsive . menururut saya produk hukum di Indonesia hingga saat ini
masih didominasi oleh, teori hukum yang otonom dan hukum yang bersifat
responsif. Hukum otonom terutama dipegang oleh kalangan aparat penegak hukum, akademisi
dan birokrasi, sehingga seringkali menjadi penghalang perkembangan hukum serta
mengalami kebuntuan ketika menghadapi kasus-kasus baru. Dimana seorang penegak
hukum dalam menegakkan hukum harus sesuai dengan hukum positif yang berlaku.
Sedangkan dikatakan bersifat responsive, karena Sebenarnya,
tata hukum Indonesia sudah lama menganut strategi pembangunan hukum yang
kritis-responsif. UU No 14/1970 sudah mengharuskan hakim untuk menggali
nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, suatu bukti bahwa kita
menganut the rule of law.
Selanjutnya, melalui perubahan UUD 1945 (1999-2002),
secara resmi kita mencabut istilah rechtstaat dari UUD 1945. Penjelasan UUD
1945 yang memuat istilah rechtsstaat dicabut dari UUD 1945 dan istilah negara
hukum dinetralkan. Pasal 1 ayat (3) hanya menyebut "negara Indonesia
adalah negara hukum" tanpa embel-embel rechtsstaat yang diletakkan dalam
kurung. Dengan demikian, negara hukum Indonesia bukan hanya rechtsstaat, tapi
juga sekaligus the rule of law.
Ditambah lagi mulai timbulnya permasalahan-permasalahan
hukum yang ada karena adanya respon dari masyarakat yang merasa di rugikan oleh
suatu aturan-aturan, sebagai contohnya adalah adanya seseorang yang merasa hak
konstitusionalnya dilanggar oleh undang-undang maka seseorang tersebut dapat
mengajukan permohonan ke MAHKAMAH KONSTITUSI, menurut saya itu adalah salah
satu contoh bahwa system hukum diindonesia menganut responsive.